Entri Populer

Jumat, 20 April 2012

Graffiti, antara Kriminalitas dan SENI



Suatu hari seorang ibu mendapati anaknya mencoreti dinding di ruang tamu dengan spidol warna. Tanpa sadar sang Ibu teriak, “Andi, jangan coret-coret di dinding! Kan Mama sudah pernah bilang…!” Sang Ibu kemudian merampas spidol dari tangan Andi dan memukul tangannya. Meskipun pukulan itu hanya pelan, tapi cukup membuat Andi menangis.

Di lain waktu, seorang bapak mencak-mencak, marah sambil mengomel memaki-maki tidak karuan. Pasalnya, ketika pagi-pagi mengeluarkan mobilnya dari garasi, matanya hampir copot melihat tembok pagarnya yang kemarin masih putih mulus kini coreng-moreng tidak karuan. Ada beraneka tulisan jorok yang tercoret di situ, berwarna-warni dan besar-besar pula. Bukan hanya itu, ada juga gambar, maaf, perempuan yang tidak berbaju. Untungnya Bapak itu tidak mengidap sakit jantung.

Kedua cerita tadi mungkin bisa mewakili kebencian sebagian orang terhadap kebiasaan corat-coret dinding atau yang populer dengan sebutan graffiti. Kata ini berasal dari kata graffito, graffiato [italia] atau graphein [yunani] yang artinya menulis. Kebencian ini disebabkan tidak adanya rasa hormat penulis graffiti ini terhadap properti milik orang lain. Dengan seenaknya mereka mencorat-coret dinding rumah, pagar, jalan umum, boks telepon umum, pintu rumah, rambu jalan, papan reklame, dan lain-lain yang bisa menjadi media pelampiasan ekspresi. Sehingga akhirnya, para pelaku dicap bertindak vandalisme dan kriminal.

Tapi, kita tidak bisa pukul rata melihat graffiti. Tidak semua orang membenci graffiti. Beberapa distro di Makassar malah menjadikan graffiti sebagai hiasan tembok baik di untuk eksterior maupun interior ruangan. Di lain pihak, para perupa atau seniman lukis tetap menganggap graffiti sebagai salah satu cabang seni. Karena melihat bentuk aktivitas dan media yang digunakan serta karya yang dihasilkan hanya bisa diapresiasi dengan kaca mata seni. Sehingga muncullah kelompok-kelompok Art Crime yang meskipun mengakui graffiti adalah kriminalitas, tapi lebih mengarahkan kegiatannya kepada seni menulis indah.


Sejarah panjang Sebenarnya kebiasaan corat-coret dinding ini sudah ada pada jaman pra-sejarah. Waktu itu, bangsa primitif yang belum mengenal huruf menggunakan simbol-simbol atau gambar-gambar untuk mengomunikasikan waktu perburuan. Fungsi utamanya lebih kepada sarana mistisme dan spiritual untuk membangkitkan semangat perburuan.
Di zaman Mesir kuno, kegiatan mencoret dinding juga nampak di beberapa piramida. Coretan tersebut lebih menggambarkan alam lain yang ditemui seorang Pharaoh (Firaun) setelah dimumikan.

Kegiatan graffiti sebagai sarana menunjukkan ketidakpuasan baru dimulai pada zaman Romawi dengan bukti adanya lukisan sindiran terhadap pemerintahan di dinding-dinding bangunan. Lukisan ini ditemukan di reruntuhan kota Pompeii. Sementara di Roma sendiri dipakai sebagai alat propaganda untuk mendiskreditkan pemeluk Kristen yang pada zaman itu dilarang kaisar.

Di zaman modern, graffiti lebih sering bersifat provokatif. Misalnya terlihat pada perang Palestina-Israel. Juga berfungsi sebagai luapan emosi dari ketertindasan, ketidakadilan sosial, dan sebagainya.

Graffiti di Makassar
Di Makassar juga banyak bermunculan graffiti yang bernilai seni. Meskipun sebagian besar hanya berupa tulisan seadanya dengan menggunakan spidol, cat semprot atau arang kayu. Begitu juga komposisi warna-warna yang digunakan masih terasa minim, kalau tidak mau dibilang miskin. Mungkin karena keterbatasan sarana yang dimiliki misalnya kurang cat atau cat semprot yang dimiliki hanya ada satu. Atau bisa jadi karena tidak banyak waktu yang bisa dicuri untuk mewujudkan sebuah karya yang indah. Ingat, graffiti dibuat ketika yang punya tembok sedang tertidur lelap atau sedang tidak berada di rumah!

Dilihat dari bentuk dan tulisannya, graffiti di Makassar sepertinya lebih mewakili kelompok-kelompok anak jalanan, preman atau geng. Bentuk-bentuk graffiti yang dihasilkan juga merupakan ekspresi dari keadaan mereka. Baik berupa simbol-simbol atau julukan atau nama kelompok mereka, maupun kata sandi atau kode khas mereka. Sedangkan fungsinya lebih kepada pernyataan eksistensi mereka dan batas wilayah kekuasaan mereka.

Di kalangan pelaku, mereka menggunakan istilah “mengebom” untuk menggambarkan suatu ruang yang berhasil mereka garap. Wilayah yang dirambah pengebom graffiti semakin luas. Namun sampai hari ini pemerintah kota Makassar belum melihatnya sebagai sesuatu hal yang merisaukan warga. Belum ada peraturan daerah khusus yang dibuat untuk mengantisipasi meluasnya graffiti. Padahal, perumahan, kompleks pertokoan, jejeran ruko, dan sebagainya , hampir merata diserang wabah graffiti ini.

Haruskah dilarang?
Di beberapa negara, aktivitas graffiti mulai terpasung dengan adanya undang-undang yang
diterbitkan pemerintah setempat. Contoh di Amerika Serikat, setiap negara bagian sudah memiliki peraturan sendiri untuk meredam graffiti. Bahkan kota San Diego di California dan New York telah memiliki undang-undang yang menetapkan bahwa graffiti adalah kegiatan ilegal. Namun ada juga kota yang menyediakan beberapa tembok khusus untuk dicorat-coret.

Di Indonesia sendiri belum ada undang-undang yang khusus mengatur graffiti. Apalagi di Makassar. Mungkin karena wabah graffiti belum begitu menyebar dan belum menjadi masalah besar seperti di AS. Akan tetapi tidak mustahil suatu waktu perkembangannya akan sulit dikendalikan. Ingat musim corat-coret baju seragam selepas pengumuman lulus ujian sekolah? Ini bisa jadi cikal bakal graffiti di ruang publik. Bayangkan kalau waktu itu hampir semua pelajar membawa cat semprot warna-warni di tas mereka dan kemudian “mengebom” (istilah yang digunakan oleh kelompok pembuat graffiti) tembok sekolah atau rumah orang yang mereka lewati. Dan ketika Anda bangun pagi, pintu pagar Anda sudah penuh coretan warna-warni.

Salah seorang pemilik toko di Jalan Sunu yang temboknya jadi korban graffiti mengaku tidak pernah tahu kapan temboknya dicoreti. Ketika ia bangun pagi coretan itu sudah ada. Jangan coba pula tanyakan siapa pelakunya, karena pasti ia hanya bisa menggeleng. Tapi bahwa sampai hari ini dia tetap membiarkan graffiti itu menghiasi di tembok tokonya, bukan karena tak punya dana atau waktu untuk mengecat ulang. “Biarkan mi, Karena kalau saya bersihkan nanti dicoreti lagi. Kan bagus ji kelihatannya, jadi hiasan tommi juga…”

Bagaimana menurut Anda, apakah aktivitas graffiti harus dilarang? Dengan pertimbangan merusak properti orang, vandalisme dan kriminal? Atau dibiarkan saja? Dengan alasan bahwa graffiti tetap merupakan ekspresi seni yang harus dihargai. Karena graffiti adalah produk seni yang tidak semua orang mampu membuatnya. Untuk membuat graffiti dibutuhkan talenta khusus. Juga, tidak sedikit seniman terkenal yang mengawali karirnya dari graffiti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar